Rabu, 26 April 2017

Cerita Tentang Anak Penjual Asuransi

"Lu mau kuliah di mana?" kata seorang teman di gereja Bintaro dulu.
"Gak tau gak kuliah gue. Hahaha.." kata seorang yang lainnya.
"Serius gue," 
teman saya terdiam, setengah berfikr  kemudian tercetus, "BSI, Ahahahhaa!"
"Hahahhaha mending gak usah kuliah itu mah!"

saya yang saat itu ikut tertawa, mengingat apa yang papa bilang, "Kalo kamu mau kuliah, Papa cuma sanggup biayain di BSI" tawaran Papa pada saat itu gak saya jawab. Karena yang saya takutkan adalah apa yang barusan terjadi.

Bukannya saya menganggap rendah kampus tersebut, bahkan teman saya yang kuliah di sana terbukti dapat kerja lebih dulu dari saya. Tapi ketakutan saya adalah tidak masuk dalam komunitas teman-teman saya yang rata-rata bermukim di komplek elite Bintaro tersebut yang akhirnya membuat tawaran Papa, saya tolak. 
Ya.
Gengsi.
Kalau mengingat keputusan saya saat itu, saya masih sangat menyesal.

Kenapa gak ambil beasiswa? Saya berasal dari keluarga yang tidak mengerti persoalan pendaftaran kuliah. Jadi saya benar-benar buta akan prosedur beasiswa. Untuk mendaftar SNMPTN saja saya tidak mengerti. Padahal teman-teman saya yang masuk negri bisa dapat bebas biaya 100% itu pun saya tahu setelah tahun ketiga lulus dari SMA. Ketika saya ingin daftar, ternyata batasnya hanya 3 tahun dari setelah kelulusan. Jadilah saya mengubur dalam-dalam keinginan untuk kuliah.

Tapi semua itu berubah ketika kami sekeluarga pindah ke Kota Malang. Perekonomian keluarga kami mulai membaik. Karena ilmu asuransi Mama Papa yang dibawa dari Jakarta ke kota ini.

Mama Papa saya merupakan pegawai asuransi. Mama, yang dulunya ibu rumah tangga fulltime, akhirnya harus turun tangan membantu Papa bekerja di kerasnya kehidupan Jakarta. Saya dan adik saya sudah terbiasa ditinggal untuk mengurus diri sendiri sejak kelas 4 SD. Kadang mereka pulang cepat, kadang mereka pulang larut malam.  

Masa-masa suram saya adalah ketika adik saya diharuskan untuk magang di Malaysia oleh sekolahnya: sekolah perhotelan dan pariwisata. Ketika saya pulang malam sampai rumah, dan gelap :')
Gelap karena lampu rumah tidak ada yang menyalakan alias rumah kosong tidak ada orang. Hal ini terjadi cukup sering dalam kehidupan saya. Jadi ingat dulu doa saya adalah punya pacar yang bisa antar jemput jadi saya tidak sendirian (HAHAHA..). Tapi kenyataannya saya sibuk kerja sehingga saya, selalu, sendirian.

Balik lagi ke Malang. Mama Papa di sini menemukan banyak petani dan nelayan yang tidak tahu duitnya harus diapakan. Sedangkan mereka asing dengan istilah asuransi. Tahun-tahun awal kami pindah ke Malang adalah tahun-tahun yang paling memberikan dampak baik dalam perekonomian kami. Adik saya bisa kuliah, saya bisa kuliah (akhirnya) di Universitas Merdeka Malang.

Tapi dipertengahan jalan perekonomian kami kembali melemah. Akhirnya saya mengalah. 2012 saya cuti kuliah supaya Mama Papa bisa lebih fokus untuk membiayai kuliah adik saya. Saya kembali bekerja.
Amsal 23:18
Karena masa depan sungguh ada, dan harapanmu tidak akan hilang. 

Melewati naik-turunnya perkeonomian keluarga, semangat saya untuk menyelesaikan kuliah tidak pernah padam. Dengan pertolongan Tuhan, awal tahun 2016 saya kembali kuliah. Akhirnya pada tanggal 22 April 2017 lalu, selesai sudah perjuangan saya.



Kata mereka, orang asuransi itu ngeselin. Ganggu. Bahkan gak banyak yang menjadikan joke menolak telepon dari penjual asuransi. Tapi mereka gak tau, ada berapa kepala yang sedang ditanggung penjual asuransi itu. Entah itu istrinya, orangtuanya, anak-anaknya. Yang pegawai asuransi tau, mereka bekerja secara halal, dan memberikan yang terbaik untuk orang yang mereka kasihi. 

dan saya persembahkan kelulusan saya yang kalau dipikir-pikir tidak mungkin, untuk Tuhan. Karena oleh kehendak-Nya saja saya yang bodoh dan lulus SMA pada tahun 2007 ini bisa lulus kuliah di 2017 :')

untuk mereka yang sering merendahkan penjual asuransi, saya dan adik saya lulus kuliah dari pekerjaan penjual asuransi. And I'm proud of them.






























Share:

Rabu, 05 April 2017

Idealis Musuhan dengan Duit

Beberapa hari lalu saya tes kepribadian di 16personalities.com (dulu udah pernah tes sih, cuma lupa hasilnya apa. tes ulang deh) ternyata hasilnya saya adalah INFP-T.

Dari penjealsannya sih saya dibilang kalo orangnya tuh idealis. Dalem hati saya 
pantes saya gak kaya-kaya
Dulu waktu SMP, guru favorit saya yang mirip kayak Kakashi Hatake di Naruto bilang kalau orang idealis itu susah, musuhan sama duit. Waktu itu saya yang notabene masih bocah, tidak terlalu menggubris hal ini. Tapi entah kenapa kalimat ini lekat dipikiran sampai saat ini.

Minggu lalu saya interview di salah satu perusahaan media sosial yang lumayan di Indonesia. Lalu, saya mendapatkan pertanyaan itu. Pertanyaan yang selama ini selalu membuat saya berpindah-pindah tempat kerja sampai pada saat ini.

"Sabtu ibadah jam berapa?"

Kalau udah sampai pertanyaan itu tentu panjang penjelasannya. Ini menyangkut kepercayaan. Kalau kepercayaan saya sendiri mengatakan untuk mengosongkan hari ketujuh yaitu Sabtu untuk gak berurusan dengan dunia. Dan saya cukup ketat untuk itu dari kecil. Bahkan dari sekolah SD sampai detik ini, saya khususkan memang satu hari itu.

Karena hal ini, saya termasuk shulit bertahan dengan dunia pekerjaan. Padahal maksud dan tujuan diciptakan hari untuk istirahat itu juga untuk kesehatan kita loh. Cuba banyangin kerja terus-terusan tanpa libur. Apa gak legrek?

Bersyukurlah kebanyakan orang yang ngomong sama saya mengerti. Hal ini membuktikan masih ada toleransi beragama di Indonesia. (Awalnya). Lambat laun ketika saya menjalani perkerjaan itu, terpaksa juga saya disuruh masuk hari Sabtu. Hehehehe..dan karena alasan itu juga saya keluar.

Nyesel dengan dengan kepercayaan? Tergantung. Lagi butuh HP baru atau nggak. Hahahaha. Gak deng. Gak boleh gitu. Intinya kalau aja saya, menuruti kemauan perusahaan dari dulu-dulu, pasti saya sudah naik pangkat. Mungkin saat ini sudah di jenjang manager seperti teman-teman saya kebanyakan. Tapi puji Tuhan, walaupun musuhan dengan duit, sampai detik ini kebutuhan saya pas pada waktunya. Dan saya masih percaya hal ini akan terus terjadi. Apalagi saat ini HP saya sedang modyar. Kita liat aja apa yang terjadi setelah ini. Dan ketika saya mendapatkan apa yang saya butuhkan dengan cara yang gak bisa dipikir pake logika, disaat itulah rasanya duit itu berasa gak ada apa-apanya sama pencipta.
Share: