Hari ini Jakarta sedang panas-panasnya. Gak nyangka bakal nulis keluhan tentang Jakarta lagi. Memang sih udah jadi impian dari dulu untuk balik lagi tinggal di kota ini, kirain semua impian saya gak bisa terkabul. Kayak memilikimu contohnya. Tapi ternyata di sinilah saya. Mengeluh tentang panasnya Jakarta, lelah karena peperangan di dalam commuter line gerbong wanita. Kenapa saya sebut peperangan? karena memang seperti sedang perang!
Ah..gerbong wanita.
kalau naik kreta di bukan jam orang berangkat kerja atau pun sebaliknya, cummuter line atau kereta listrik akan terasa seperti di luar negri. Tapi, kalau di jam kerja, semua orang di dalam gerbong akan terlihat seperti ikan pindang. Maka dari itu saya memilih gerbong wanita agar tidak berdempetan dengan lelaki. Tapi ternyata yang berpikir sama dengan saya tentu banyak pula. Jadilah gerbong wanita lebih mengerikan penuhnya daripada gerbong biasa. Saya sempat berpikir apa ada yang pernah kehabisan nafas dalam situasi seperti ini.
Yah memang kalau dipikir-pikir, Jakarta sudah tua, sudah usang, sama seperti saya.
Akhirnya baru ini terasa dalam diri. Kalau memang saya sudah tidak muda lagi. Langit Jakarta kini sering berwarna abu-abu seperti enggan ceria. Yang belakangan saya tau ternyata itu polusi. Dulu katakanlah tahun 1999. Belum ada polusi semengerikan seperti sekarang.
Sama saya juga penuh polusi. Semakin dewasa semakin banyak khawatir yang menjadi polusi dalam diri. Sehingga sulit untuk ceria seperti langit berwarna biru putih.
Kalau dilihat Jakarta juga semakin sendirian. Walau orang bertambah, tapi yang peduli dengan keindahannya hanya sedikit. Makin banyak orang malah makin banyak juga yang buang sampah sembarangan. Makin banyak pula lahan hijau yang dihapus untuk bangunan.
Jakarta, kamu gak sendiri.
saya juga.
Saya juga bisa merasakan semua.
Satu hal sih yang berbeda dari kita.
Tidak ada yang menulis tentang saya.
Tidak seperti dulu.